02 April 2009

Indie Films


Twilight Casts






Bawa Aku Pulang


Kasih sayang dari orangtua sangat dibutuhkan oleh sang anak sebagai elemen dasarnya dalam pertumbuhan.

Bangunan bercat krem dipadu warna pelangi di Cipayung, Jakarta Timur, itu tampak menonjol dari bangunan lainnya. Bangunan seluas 100 meter persegi itu adalah Panti Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa 01. Di dalamnya hidup 69 anak. Mereka terdiri dari bayi baru lahir hingga bocah usia lima tahun. Memasuki tempat ini, kita akan disambut semerbak aroma minyak bayi.

Suatu siang di pertengahan Januari 2007 para penghuni panti itu baru saja menikmati santap siang. Setelah kenyang, mereka tidur pulas. Tiap anak mendapat jatah kasur kecil. Sebagian mendengkur pulas.

Lantai dua bangunan itu dipenuhi kotak bayi. Siang itu bayi-bayi di panti tidak tidur. Terdengar celoteh dan tangisan. Dua perawat yang bertugas kewalahan melayani 36 bayi. Bangunan di atas tanah seluas 3.300 meter persegi itu didirikan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun 1986. Tempat itu memang untuk menampung bayi-bayi yang ditinggal ibunya. Ada yang diserahkan ibunya, ada yang diserahkan polisi, ada juga yang dititipkan tunawisma.

“Kalau ada tamu, mereka bilang kok saya nggak diadopsi, sih? Kok bunda saya nggak datang-datang,” tutur Marwianti, kepala panti, menirukan pertanyaan anak-anak yang mulai besar. Saat ada pengunjung yang mencari anak untuk diadopsi, bocah-bocah itu akan bersaing keras mencoba menarik perhatian dengan berbagai cara.

Alam punya cara sendiri untuk mencari perhatian. Ia duduk di lantai. Celananya basah oleh ompol. Anak kelas 0 besar taman kanak-kanak itu kencing di celana. Ketika ditanya mengapa ngompol, dia hanya mengangkat bahu. “Nggak boleh ngompol! Kamu itu hidup di panti! Nggak boleh ngompol. Kamu udah gede,” kata pengasuh yang mulai jengkel oleh ulah Alam. Kadang-kadang, pengasuh itu memukulnya sebagai pelajaran.

Alam adalah penghuni tertua di situ. Sampai dia umur lima tahun, belum ada pengunjung yang tertarik mengadopsinya. Sementara banyak teman seumurnya yang sudah meninggalkan panti diadopsi oleh keluarga mapan.

Alam sebenarnya anak yang menarik. Ia cerdas, ceria, dan gesit. Kepalanya yang pelontos membuat banyak orang gemas padanya. Mungkin cara dia mencari perhatian yang berlebihan membuat pengunjung tidak pernah memilihnya sebagai anak angkat. Alam datang ke panti tiga tahun silam, diantar seorang polisi. Ibunya berprofesi sebagai pekerja seks komersial karena dipaksa suaminya. Suatu hari, ibu Alam terlibat tindak kriminal dan dipenjara. Karena tidak ada pengasuh, polisi menitipkan Alam di panti ini. “Mama ketangkep polisi, karena punya pacar penjahat,” cerita Alam.

Selain Alam, penghuni lama di panti ini adalah Arjuna. Anak ini berparas Arab. Ibunya buruh migran di Kuwait. Suatu hari, ibunya diperkosa majikannya dan lahirlah Arjuna. Setelah menitipkan anaknya di panti, sang ibu menghilang tanpa kabar. Ia tak pernah kembali. Surat pun tak pernah dikirimkan. Konon, ibu itu kembali bekerja di Timur Tengah. “Aku mau punya mama,” kata Arjuna.

Ada lagi Ismail. Bocah tiga tahun ini tidak tahu sebenarnya ibunya tinggal tak jauh dari panti ini. Menurutnya, ibunya sudah tiada. Padahal, si ibu tinggal di Panti Bina Laras yang bersebelahan dengan Panti Tunas Bangsa. Bina Laras menampung para perempuan korban pemerkosaan yang mengalami gangguan jiwa. Sudah lima tahun ibu Ismail sakit jiwa, setelah diperkosa orang tak dikenal. Ismail pun lahir di panti itu, lalu ditampung Panti Tunas Bangsa.

Alam, Ismail, Arjuna, dan anak-anak panti ini memiliki perilaku yang mirip. Mereka suka mencari perhatian orang-orang yang datang. Menurut Marwianti, anak-anak panti haus kasih sayang. “Kurang kasih sayang menimbulkan mereka jadi overacting. Apalagi kalau ada tamu, jadi overacting. Mencari perhatian,” ujarnya.

Jika tamu itu laki-laki, anak-anak itu suka memanggil “ayah”. Bila yang datang perempuan, mereka memanggil “mama”. Tak jarang mereka berterus terang minta diadopsi. Bahkan, banyak yang merengek ikut pulang.

Malam sudah larut. Bocah-bocah itu kembali menggantungkan harapan. Hari ini tak ada yang membawa mereka “pulang”. Anak-anak itu terus berharap suatu hari ada orang tua yang mau membawa mereka pulang ke rumah, pada sebuah keluarga yang mau memberikan mereka kasih sayang.